Adab-Adab Makan Seorang Muslim (6)
Makan dan minum sambil berdiri
Di kota-kota besar undangan pesta sering kali dilakukan dengan
fasilitas dan hiburan yang serba mewah. Ketersediaan fasilitas dan
hidangan VIP memang mengundang selera, namun kadang ada yang lupa,
ketersediaan tempat duduk walaupun lesehan acap kali ditinggalkan.
Berkaitan dengan makan dan minum sambil berdiri, kita temukan beberapa hadits yang seolah-olah kontradiktif.
Hadits-Hadits yang melarang minum sambil berdiri
Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sambil minum berdiri. (HR. Muslim no. 2024, Ahmad no. 11775 dll)
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil
berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)
Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri
Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)
Dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali
radhiyallahu ‘anhu
mendatangi pintu ar-Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu
beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil
berdiri, padahal aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615)
Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mengatakan,
“Apa yang kalian lihat jika aku minum sambil berdiri. Sungguh aku
melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Jika aku minum sambil duduk maka sungguh aku pernah melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk.” (HR Ahmad no 797)
Dari Ibnu Umar beliau mengatakan, “Di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
kami minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.” (HR. Ahmad no
4587 dan Ibnu Majah no. 3301 serta dishahihkan oleh al-Albany)
Di samping itu Aisyah dan Said bin Abi Waqqash juga memperbolehkan
minum sambil berdiri, diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Zubaer bahwa
beliau berdua minum sambil berdiri. (lihat
al-Muwatha, 1720 – 1722)
Mengenai hadits-hadits di atas ada Ulama yang berkesimpulan bahwa
minum sambil berdiri itu diperbolehkan meskipun yang lebih baik adalah
minum sambil duduk. Di antara mereka adalah Imam Nawawi, dalam
Riyadhus Shalihin
beliau mengatakan, “Bab penjelasan tentang bolehnya minum sambil
berdiri dan penjelasan tentang yang lebih sempurna dan lebih utama
adalah minum sambil duduk.” Pendapat Imam Nawawi ini diamini oleh
Syaikh Utsaimin dalam
Syarah Riyadhus Shalihin, beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena hal ini merupakan kebiasaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau tidak makan sambil berdiri demikian juga tidak minum sambil
berdiri. Mengenai minum sambil berdiri terdapat hadits yang shahih dari
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut.
Anas bin Malik ditanya tentang bagaimana kalau makan sambil berdiri,
maka beliau mengatakan, “Itu lebih jelek dan lebih kotor.” Maksudnya
jika Nabi melarang minum sambil berdiri maka lebih-lebih lagi makan
sambil berdiri.
Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Umar mengatakan, “Di masa Nabi kami makan sambil
berjalan dan minum sambil berdiri. Hadits ini menunjukkan bahwa
larangan minum sambil berdiri itu tidaklah haram akan tetapi melakukan
hal yang kurang utama. Dengan kata lain yang lebih baik dan lebih
sempurna adalah makan dan minum sambil duduk. Namun boleh makan dan
minum sambil berdiri. Dalil tentang bolehnya minum sambil berdiri
adalah dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam
kepada Nabi lalu beliau meminumnya sambil berdiri.” (
Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid VII hal 267)
Dalam kitab yang sama di halaman 271-272, beliau mengatakan,
“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang berkah. Nabi mengatakan,
“Air zam-zam adalah makanan yang mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” (HR Muslim no 2473) Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan,
“Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dalam
Targhib wa Tarhib 2/168 al-Hafidz al-Mundziri mengatakan tentang hadits ini, diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih.)
Oleh karenanya, jika air zam-zam di minum untuk menghilangkan dahaga
maka dahaga pasti lenyap dan jika diminum karena lapar maka peminumnya
pasti kenyang. Berdasarkan makna umum yang terkandung dalam hadits
kedua tersebut
-”Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”-
sebagian ulama menyatakan orang sakit yang meminum air zam-zam untuk
berobat maka pasti sembuh, orang pelupa yang minum zam-zam untuk
memperbaiki hafalannya tentu akan menjadi orang yang memiliki ingatan
yang baik. Jadi, untuk tujuan apapun air zam-zam diminum pasti
bermanfaat. Ringkasnya air zam-zam adalah air yang berkah.
Namun, komentar yang paling bagus mengenai hadits-hadits diatas yang
secara sekilas nampak bertentangan adalah penjelasan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits
di atas adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum
sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk
minum sambil duduk. Hadits-hadits yang melarang minum sambil duduk di
antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi minum sambil
berdiri.” (HR Muslim 2024)
Juga terdapat hadits dari Qotadah dari Anas, sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang minum sambil berdiri. Qotadah lantas bertanya kepada Anas,
“Bagaimana dengan makan sambil berdiri?” “Itu lebih jelek dan lebih
kotor” kata Anas. (HR. Muslim no. 2024)
Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri adalah semisal hadits dari Ali dan Ibnu Abbas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari dari Ali, sesungguhnya beliau minum sambil
berdiri di depan pintu gerbang Kuffah. Setelah itu beliau mengatakan,
“Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri padahal
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan
sebagaimana yang aku lakukan.” Hadits dari Ali ini diriwayatkan dalam
atsar yang lain bahwa yang beliau minum adalah air zam-zam sebagaimana
dalam hadits dari Ibnu Abbas. Jadi, Nabi minum air zam-zam sambil
berdiri adalah pada saat berhaji. Pada saat itu banyak orang yang thawaf
dan minum air zam-zam di samping banyak juga yang minta diambilkan air
zam-zam, ditambah lagi di tempat tersebut tidak ada tempat duduk. Jika
demikian, maka kejadian ini adalah beberapa saat sebelum wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hadits ini
dan hadits semacamnya merupakan pengecualian dari larangan di atas. Hal
ini adalah bagian dari penerapan kaidah syariat yang menyatakan bahwa
hal yang terlarang, itu menjadi dibolehkan pada saat dibutuhkan. Bahkan
ada larangan yang lebih keras daripada larangan ini namun
diperbolehkan saat dibutuhkan, lebih dari itu hal-hal yang diharamkan
untuk dimakan dan diminum seperti bangkai dan darah menjadi
diperbolehkan dalam kondisi terpaksa” (
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah Jilid 32/209-210)
Larangan bernafas dan meniup air minum
Etika makan dan minum tidak luput dari kajian para ulama yang semuanya bersumberkan dari hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain anjuran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak bernafas dan meniup air ke dalam gelas atau wadah air. Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits:
Dari Abu Qatadah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang untuk mengambil nafas atau meniup wadah air minum.” (HR.
Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh
Al-Albani)
Dalam
Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan,
“Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena
dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau
yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung
yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu. Dalam
Zaadul Maad
IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman
karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut.
Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya
lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah.
Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan
bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.
Anjuran bernafas sebanyak tiga kali
Dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda,
“Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028)
Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah
bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari
mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah
satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.
Meskipun demikian, diperbolehkan minum satu teguk sekaligus.
Dalilnya dari Abu Said al-Khudry, ketika beliau menemui Khalifah Marwan
bin Hakam, khalifah bertanya, “Apakah engkau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup air minum?” Abu Said mengatakan, “Benar” lalu ada seorang yang berkata kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali teguk.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
“Jauhkan gelas dari mulutmu kemudian bernafaslah”,
Orang tersebut kembali berkata, “Ternyata kulihat ada kotoran di
dalamnya?” Nabi bersabda, “Jika demikian, buanglah air minum tersebut.”
(HR. Tirmidzi no. 1887 dll)
Imam Malik mengatakan, “Menurutku dalam hadits di atas terdapat
dalil yang menunjukkan adanya keringanan untuk minum dengan sekali
nafas, meski sebanyak apapun yang diminum. Menurut pendapatku tidaklah
mengapa minum dengan sekali nafas dan menurutku hal ini diperbolehkan
karena dalam hadits dinyatakan, “
Sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali nafas -satu teguk-” (
At-Tamhid Karya Ibnu Abdil Barr I/392
Dalam
Majmu’ Fatawa XXXII / 309 Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa jika seorang
yang minum itu sudah merasa segar karena minum dengan sekali nafas dan
dia tidak membutuhkan untuk mengambil nafas berikutnya maka
diperbolehkan. Aku tidak mengetahui ada seorang ulama yang mewajibkan
untuk mengambil nafas berikutnya dan mengharamkan minum dengan sekali
nafas.”
Dimakruhkan minum dari mulut ceret, teko dan lain-lain. Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut
ghirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya) (HR Bukhari no. 5627)
Redaksi yang senada dengan hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Bukhari no. 5629 dari Ibnu Abbas
Dua hadits di atas dengan tegas melarang minum dari mulut wadah air
semacam teko dan ceret. Yang sesuai dengan adab Islami adalah
menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru di minum. Menurut
sebagian ulama, larangan ini hukumnya adalah haram sedangkan mayoritas
para ulama menyatakan bahwa larangan ini hukumnya adalah makruh. Bahkan
ada juga ulama yang memahami bahwa hadits yang melarang minum dari
mulut wadah air itu menghapus hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya.
Menurut para ulama larangan di atas memiliki beberapa hikmah di
antaranya:
- Nafas orang yang meminum dimungkinkan berulangkali masuk ke dalam wadah yang bisa menimbulkan bau tidak sedap.
- Boleh jadi, dalam wadah air tersebut terdapat binatang atau kotoran
yang dimungkinkan ke dalam perut orang yang meminum tanpa disadari.
- Tidak menutup kemungkinan air minum tersebut bercampur dengan ludah
orang yang meminumnya sehingga orang lain akhirnya merasa jijik untuk
minum dari wadah tersebut.
- Air liur dan nafas orang yang meminum itu boleh jadi menyebabkan
orang lain sakit. Hal ini terjadi bila orang yang meniup tersebut
sedang mengidap penyakit menular.
Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut
ghirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju
ghirbah
tersebut dan memutus tali gantungannya.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu
Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani.) Hadits ini menunjukkan
bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan
hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani
mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah
air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis
hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan
bahwa salah satunya itu
mansukh (tidak berlaku).”(
Fathul Baari, X/94)
Penyuguh itu terakhir minum
Dari Abu Qatadah
radhiyallahu ‘anhu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang menyuguhkan minuman kepada sekelompok orang adalah orang yang minum terakhir kali.” (HR Muslim no. 281)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksud hadits orang yang
menyuguhkan minuman baik berupa air, susu, kopi atau teh seyogyanya
merupakan orang yang terakhir kali minum untuk mengutamakan orang lain
daripada dirinya sendiri dan supaya jika minuman tersebut ternyata
kurang maka yang kurang adalah orang yang menyuguh tadi. Tidak
diragukan lagi bahwa sikap seperti ini merupakan sikap yang terbaik
karena melaksanakan perintah dan adab yang diajarkan oleh Nabi. Akan
tetapi jika penyuguh tersebut tidak berkeinginan untuk minum maka dia
tidaklah berkewajiban untuk minum sesudah yang lain minum. Dalam hal
ini penyuguh boleh minum boleh juga tidak meminum. (
Syarah Riyadhus Shalihin VII/273)
Anjuran makan sambil bicara
Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara
dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak
kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan
menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau
berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan
tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus
mereka.
Ibnul Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu
ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal
ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak
berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan
alhamdulillah dan
bismillah
setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih
baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari
Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga
tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad
yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad
berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan
beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (
Adab Syariyyah, 3/163)
Dalam
al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan
berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits
yang dibawakan oleh Jabir
radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab
al-Ihya
mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang
baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam
makanan.” (
al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo)