Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor
1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil
memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari
kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin,
akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena
di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di
dompetnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk
melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan
lapar. “Kelak, mereka pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan
sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit
bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan
kisah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja.
Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir.
Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap
miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang
miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang
miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk
tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu.
“Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin
seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik padaku. “Kadang bosan juga aku
jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi
ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,”
katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal
tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin
yang jadi pelawak. Bertahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada
yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua
orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya rombeng, dan
menyedihkan. Setiap menghibur di acara ulang tahun, anak-anak yang
menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan yang menyenangkan buat
anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka
mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu
yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Setiap kali lapar
berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar
melupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang miskin itu mengajak
lapar bermain teka-teki, untuk menghibur diri. Ada satu teka-teki yang
selalu diulang-ulang setiap kali lapar datang bertandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika lapar?” Dan orang miskin itu akan menjawabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap
menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega
orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi
pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB,
satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih kecil-kecil.
Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku
ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai
ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan mereka
secara adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 45,” begitu ia
sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku
tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi
punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan diri
menikmati kopi. “Orang miskin perlu juga sesekali nyantai, kan? Lagi
pula, beginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya banyak waktu buat
leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya,
sambil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya
cukup tabungan penderitaan, yang bisa digunakan untuk membiayaimu
sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah.
Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pelan ia menyeruput
kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul
setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan
gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap
kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar
dari dalam cermin, berjalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta
diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk
dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihatnya tengah berusaha menyembunyikan isak tangisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi
kesedihan. “Jangan salah paham,” katanya. “Aku sedih bukan karena aku
miskin. Aku sedih karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin.
Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak
tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa kikuk dengan penampilanku
yang perlente. Sejak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan
memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan,
katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung
semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin.
Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu
memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si
orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa
kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu
membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia
selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang
terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin
itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru
dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu
wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,”
katanya. “Dituduh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu
mengakui kalau ia pelakunya. Dengan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang.
Kukira orang miskin itu tewas dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan
yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat,
dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi.
Makanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang
disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air
susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang miskin bunuh diri. Dua hari
lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil
menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak
menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit
hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya
orang miskin gadungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang
saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk
dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya.
“Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang
ketinggalan zaman saja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap saja
kaget ketika orang miskin itu muncul di rumahku sambil menenteng
telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!”
katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon
ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo,
apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama itu bertengger
dengan gagah namanya, tempat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin. Ia suka
keliling kampung, menenteng ponsel, sambil bersiul entah lagu apa.
“Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot mengemis dengan
tampang dimelas-melaskan,” katanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah
nyaman jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda
Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke
warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal
terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap.
Sementara aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku
telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu
yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu
melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster
jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di
lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat
fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan
menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata perawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut
pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa
gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak
baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata
orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri.
Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin
seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang miskin itu mengajak anak
istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang
sakinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya.
Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bisik orang miskin itu
pada istrinya, sambil menunjuk orang-orang yang sedang antre membayar
dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin itu pun segera mengeluarkan
Kartu Tanda Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah?
Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah
banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling
injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus
bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa
di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak
mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati.
Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan
di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi
karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas
kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap
saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur
tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati saja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering
keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya
ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Karena neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu
berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya.
Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.